Jumat, 18 November 2011
Negeriku
Ini adalah negeri yang sangat besar. Wilayahnya terbentang dari barat
sampai timur melewati tiga wilayah waktu. Posisinya diapit oleh dua
samudera raya. Sedangkan kedudukannya di tengah dua benua besar.
Penduduknya hampir seperempat milyar manusia yang berasal dari ratusan
suku bangsa yang memiliki bahasa dan tradisi masing-masing.
Raja Ampat |
Ini adalah negeri yang kaya. Lautnya menghasilkan ikan, mutiara, dan
milyaran biota lainnya. Gunungnya menghasilkan bahan tambang, pasir
besi, kayu, dan emas. Sungainya mengaliri sawah-sawah yang menghijau.
Bahkan anginnya pun selalu membawa kesejukan.
Itulah cerita negeri ini. Masih banyak cerita-cerita yang menakjubkan
tentang negeri ini. Tapi semua sudah berlalu. Bahkan semuanya hampir tak
meninggalkan jejak dan bekas. Kalaupun ada orang yang ditanya mengenai
kejayaan saat itu, barangkali pasti mereka semua akan menggeleng.
Negeri yang kaya namun tak lagi berpunya. Semua telah dijual, ditukarkan
dengan kesenangan sesaat yang akhirnya membawa sengsara. Ditukar dengan
sesuatu yang tak berharga bahkan menjijikkan.
Tembaga Pura ((at)zackiarfan twitpic) |
Jembatan Anak Bangsa (kompas.com) |
mediaindonesia.com |
Negeri yang kaya perlahan tak punya. Namun
rakyatnya tak pernah sadar. Bahwa negerinya yang kaya semakin merana dan
apapun yang tersisa kini bukan miliknya. Rakyatnya hanya memburu
keindahan semu dari apa yang telah ditawarkan para kapitalis. Keindahan
yang membuat kita mabuk dan limbung. Terjatuh dalam lumpur nista yang
mana kita tak bisa keluar darinya. Sementara mulut masih meracau karena
pikiran tak pernah berpikir sehat. Tingkah lakunya pun tak terarah dan
terkontrol. Sekali-kali gugup dan latah.
Memang itulah yang para penjajah inginkan (sadar atau tidak kita
sebenarnya masih terjajah). Mereka beri sedikit anggur yang membuat kita
tidak waras dan tergila-gila. Mereka beri pujian kepada kita hingga
kita merasa hebat dan unggul sehingga membuat kita mengagumi diri
sendiri berlebihan. Padahal semua itu hanya isapan jempol untuk membuat
kita lemah dan tak berdaya. Tak mampu lagi berpikir dan berkarya.
Akibatnya kita akan sangat tergantung dan membutuhkan mereka,
menyerahkan segala yang kita punya termasuk harga diri kita.
Entah apa jadinya anak cucu kita nanti bila kita sendiri tak mampu
menghentikannya sekarang. Di saat nanti mungkin kita sudah tidak lagi
punya tenaga yang kuat untuk sekadar berkata. Sementara anak cucu kita
akan menghadapi tantangan yang lebih berat, mungkin nanti kita akan
hanya bisa melihat dan merasakan kepedihan. Kepedihan hasil dari apa
yang kita tak pernah bisa mengatasinya. Kepedihan karena kita telah
menyerah kalah sekarang. Memberikan tampuk kekuasaan kepada orang yang
hanya membutuhkan kita untuk diperas. Sekarang ini, apalagi nanti, kita menjadi bulan-bulanan orang lain yang punya niat jahat. Menjadikan
kita kita sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan kita tak pernah
mendapat jangankan upah dan imbalan bahkan terima kasih pun tak ada.
Sekarang, apalagi nanti kita akan dicambuk untuk melakukan apa yang
mereka inginkan.
Pikirkan sebentar dan segera berbuat. Jika yang kita takutkan adalah
karena pengorbanan saat ini sangat berat, maka pengorbanan dan kepedihan
esok akan sangat lebih menyengsarakan. Jika yang kita takutkan adalah
kehilangan kenyamanan hari ini, maka kenyamanan esok setelah kita
berjuang adalah jauh lebih manis dan indah.
12 Juni 2005, 20:00